Inilah tari kolosal pembukaan MTQ Nasional dilapangan SPG
Mataram tahun 1973 silam, yang kini jadi kantor BI NTB . sebanyak 5000 siswa
ambil bagian dari tari kolosa tersebut. kini, 43 tahun setelah MTQ VI yang
suksees ditengah ,NTB ditunjunk sebagi tuan rumah MTQ XXVI tahun 2016.
Tanpa hotel memadai, restoran kelas satu, listrik
langka, jalanan mulus, dan segala keterbatasan tak terperi, NTB tercatat dalam
sejarah mampu menjadi tuan rumah yang sukses menyelenggarakan MTQ Nasional VI
tahun 1973. Kini, 43 tahun berselang, kesuksesan serupa diharapkan muncul
kembali. Kalau bisa bahkan lebih.
***
SETELAH memberikan instruksi dengan suara lantang, entah
bagaimana caranya, Maryam sekonyong-konyong telah berada di atas genteng atap
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Mataram.
Perempuan guru menari yang didatangkan khusus dari Ibu
Kota Jakarta itu tiada takut berdiri tegak di sana.
Sementara di bawah, berbaris rapi membentuk formasi,
5.000 siswa dari sejumlah sekolah menengah di Mataram dan beberapa daerah di
pulau Lombok.
Mata mereka selurunya tertuju pada aksi Guru Maryam.
Jangan tanya bagaimana gemuruh dada dan kencangnya detak jantung para siswa
itu.
Mereka cemas bukan main. Baru seminggu mereka
dikumpulkan. Lalu berlatih. Bahkan, mereka belum saling mengenal satu sama
lain. Tapi mereka telah diminta tampil.
Yang menonton pun tak sembarang. Ada Menteri Agama RI
kala itu, Prof. HA Mukti Ali. Lalu ratusan ribu pasang mata. Tak cuma datang
dari Mataram, Lombok, atau Sumbawa. Tapi datang dari seluruh Indonesia.
Lagian, para siswa itu bukanlah penari beneran. Mereka
juga tak mengenal apa itu tarian kolosal. Boro-boro tari begitu. Tari
tradisional yang biasa-biasa saja, mereka tak mengenalnya dengan fasih.
Tapi, tekad Bu Guru Maryam, menjadikan para siswa itu
berusaha meyakinkan diri. Bahwa mereka bisa.
Tak lama setelah berada di atas genteng, diiringi musik
dan tetabuhan, aksi menari 5.000 siswa itu pun dimulai. Dari lapangan, 5.000
siswa mengikuti gerakan yang diperagakan Maryam di atas genteng.
Alhamdulillah, tak ada kendala berarti. Tarian kolosal
itu mulus. Diakhiri dengan formasi membentuk sebuah tulisan MTQ VI 1973.
Standing ovation dan tepuk tangan gemuruh tiada henti
bergema. Sejarah kemudian mencatat, 43 tahun berselang, tarian itu sebagai
tarian kolosal pertama yang dipersembahkan para pelajar di NTB dengan gelimang
sukses.
Begitulah sepenggal kemeriahan penyelenggaraan MTQ Nasional
tahun 1973 yang digelar di Mataram. Itu adalah kali keenam MTQ Nasional digelar
setelah MTQ pertama dimulai pemerintah Presiden Soeharto dan Wakil Presiden
Sultan Hamengkubuwono IX di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan tahun 1968.
Kala itu, MTQ adalah event tahunan. Setelah di Ujung
Pandang, MTQ berturut-turut digelar di Bandung, Jawa Barat tahun 1969,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1970, Medan, Sumatera Utara tahun 1971
dan DKI Jakarta pada 1972.
Kemeriahan itu dituturkan kembali kepada Lombok Post oleh
Prof Zainal Asikin, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram. Asikin yang
kala itu masih menempuh jenjang pendidikan kelas II SMA, adalah salah seorang
dari 5.000 pelajar yang menari kolosal.
Selama seminggu berlatih, dalam sehari kata Asikin, para
pelajar itu melatih gerakan tiga kali. “Kita diwajibkan untuk menghafal
gerakan,” kenangnya.
Kendati begitu, Asikin tak tahu persis, tarian apa
sesungguhnya yang mereka tampilkan. Mereka hanya dibuat dalam puluhan kelompok,
dan masing-masing kelompok menyiapkan gerakan masing-masing.
Mereka pun berlatih di sebuah lubang besar di tengah
lapangan. Lalu dari atas lubang, pelatih tari memantau gerakan mereka.
Asikin masih ingat. Mereka diminta menganakan pakaian
khusus. Semua penari juga diberikan tongkat. Uniknya, tongkat tersebut dapat
berubah warna. Dari warna putih, merah dan hijau. Sebelum menari, seluruh
penari dikumpulkan.
“Kita disuruh berdoa. Agar tarian yang disuguhkan itu
sukses,” kenangnya.
Sungguh. Pagelaran MTQ tahun 1973 itu bukanlah hal mudah
bagi NTB yang kala itu dipimpin Gubernur Raden Wasita Kusumah. Daya dukung NTB
begitu terbatas.
Bayangkan saja. Saat itu di Kota Mataram baru ada dua
hotel. Itupun hotel kecil. Adanya di Ampenan. Lalu restoran dan rumah makan
juga terbatas. Juga konektivitas dari dan ke daerah. Baik jalur laut dan udara.
Jaringan jalan pun belum banyak. Jalan Udayana yang
membelah Kota Mataram menuju eks Bandara Selaparang saja belum ada.
Bahkan, HL Azhar, mantan Wakil Gubernur NTB yang kala itu
masih sebagai staf di kantor gubernur NTB mengenang, kantor-kantor pemerintah
saja belum banyak. Sementara listrik adalah barang langka.
Jalan-jalan protokol di Mataram tak seperti sekarang.
Bahkan, kata Azhar, lokasi MTQ Nasional VI di Lapangan SPG Mataram kala itu dia
ibaratkan seperti Padang Arafah. Mengingat kondisinya yang gersang, minim
pepohonan.
Bagi Azhar, persiapan venue kala itu juga tak ada yang
mencolok dan jor-joran. Persiapan kata dia, nyaris biasa saja. Semua karena
memang serba terbatas.
Kecuali mempersiapkan masyarakat. Sebab, kesiapan
masyarakat itulah ternyata yang akhirnya menjadi kunci suksesnya MTQ tahun 1973
itu.
Yusuf, warga Dasan Agung, Kota Mataram, yang kala itu
ikut berpartisipasi mementaskan atraksi Cupak Gerantang untuk menghibur para
kafilah, mengenang bagaimana gubernur saja turun langsung ke masyarakat untuk
mengajak masyarakat. Para tuan guru, tokoh agama juga berpartisipasi aktif
sangat.
Itu sebabnya partisipasi masyarakat menjadi begitu besar.
Bahkan, tak cuma masyarakat muslim. Mereka yang non muslim pun turut terlibat.
Bahkan, disebutkan, dalam sejumlah event pembukaan, mereka yang non muslim pun
ikut tampil memeriahkan.
Maka jangan heran, kalau kemudian partisipasi itu
akhirnya menjelma menjadi gelombang modal luar biasa bagi NTB. Itu sebabnya,
saban hari selama penyelenggaraan MTQ tersebut, keramaian adalah pemandangan
utama.
Arena utama padat bukan main. Gelombang masyarakat yang
datang menonton antusias bukan main. Saking banyaknya penonton yang datang,
melihat panggung utama adalah barang langka. Tak semua penonton bisa.
Yusuf masih ingat. Bagaimana padat sesaknya venue. Jalan
dari perempatan Bank Indonesia sekarang hingga ke kantor gubernur penuh sesak.
Warga datang dari seantero penjuru. Mereka datang besama
keluarga. “Entah dari mana mereka datang. Dan di mana mereka menginap,” kata
Yusuf.
Dalam foto-foto pagelaran MTQ yang didapat Lombok Post,
terlihat masayrakat datang membawa makanan dengan rantang. Mengajak anak,
sahabat dan handai tolan.
“Karena tidak bisa melihat panggung utama. Banyak
penonton yang datang kemudian mendengarkan suara para qoriah melalui siaran
radio saja. Tapi mereka hadir di sana,” kata Asikin.
Diangkut Bus
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok
Barat, TGH Syafwan Hakim menuturkan, pemerintah rupanya diam-diam menggalang
para penonton.
Antara lain, pemerintah menyiapkan bus untuk menjemput
para santri di pondok pesantren untuk datang menyaksikan MTQ.
“Itu berlangsung setiap hari sehingga, selama acara
pelaksanaan berlangsung dijelaskannya tidak pernah sepi,” kata TGH Syafwan pada
Lombok Post.
Dia ingat betul bus yang menjemput tersebut. Para santri
di Nurul Hakim kata dia sangat antusias karena bisa ikut menyaksikan MTQ setiap
hari selama pelaksanaan berlangsung.
Entah bagaimana caranya. Yang dia ingat, meski saat itu
kemajuan teknologi dan informasi masih terbatas, gaung MTQ menggema ke seluruh
wilayah NTB.
“Benar-benar terasa kalau kita memang sedang mengadakan
MTQ. Sampai ke pelosok juga ikut merasakan,” kata dia.
Event Terbesar
Bagi Yusuf, kala itu masyarakat sebetulnya tak begitu
mengenal ada lomba apa saja dalam event MTQ ini. Namun, diakuinya event
tersebut telah menjelma menjadi event besar. “Ite begawe beleq belaq,
(pesta besar-besaran),” katanya.
Dia ingat betul. Bahwa tak ada seruan untuk datang
menyaksikan MTQ. Yang ada kala itu adalah seruan untuk menghadiri pengajian
akbar.
“Zaman itu, pengajian itu bagi masyarakat ibarat konser
musik seperti sekarang,” katanya. “Jadi pasti ramai sekali,” tambahnya.
Akses pendidikan yang terbatas, menjadikan masyarakat
sangat antusias kata dia menghadiri pengajian. Melalui pengajian itulah
masyarakat akhirnya bisa menambah ilmu. Menambah bekal dalam menjalankan agama.
Jangankan mereka yang tinggal di berbagai pelosok Pulau
Lombok. Mereka yang tinggal di Kota Mataram saja kata Yusuf sangat antusias
kalau ada pengajian akbar.
Pengetahuan Baru
Sejarah kemudian akan mencatat, betapa pagelaran MTQ kala
itu telah memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat NTB. “DI MTQ ini pula
kami baru pertama mengenal apa itu qasidah,” kata Yusuf.
Sebelumnya, musik qasidah itu tak begitu dikenal di NTB.
Beberapa lagu qasidah sudah ada yang tahu. Tapi, bagaimana group qasidah
memainkan lagunya. Bagaimana para pemusik mengiringinya. Tak ada yang tahu. Tak
ada yang pernah menyaksikan.
Soal musik, pengetahuan masyarakat NTB kala itu tak lebih
dari musik-musik khas tradisional. Macam rebana, atau juga musik cilokaq. DI
luar itu, tak ada perbendaharaan musik lain yang dikenal.
Prof Zainal Asikin menuturkan, kala
itu, pemerintah memang mendatangkan
group qasidah dari Jakarta dan Semarang. Namanya Nasida Ria.
Group qasidah ini hingga awal 1990-an memang merupakan
group qasidah paling ternama di tanah air. “Dulu yang terkenal itu nama
penyanyinya Tutik Alawiyah,” kenang Asikin.
Sejak saat itu pula, lagu qasidah yang liriknya sangat
ternama hingga saat ini mulai dikenal. “Liriknya itu: yadana… ya dana
dana..,” kata Yusuf berdendang sembari menirukan lagu qasidah tersebut.
Dalam pagelaran MTQ tahun 1973 itu, keluar sebagai juara
umum adalah Provinsi Sumatera Utara. Pada pagelaran yang sama, qori asal
Sumatera Utara atas nama H Rahmat Lubis tercatat sebagai juara tilawah kategori
dewasa.
Tilawah adalah cabang paling bergengsi dalam MTQ.
Sementara untuk qoriah terbaik menjadi milik Nurbaini Ramli, asal Kalimantan
Barat.
NTB sendiri baru mencatatkan diri sebagai daerah dengan
qoriah terbaik pada MTQ Nasional tahun 1985 yang digelar di Pontianak,
Kalimantan Barat. Qori terbaik nasional dari NTB itu adalah H Nasir Cidung.
Jangan Kalah
Kini, ketika MTQ Nasional ke-26 kembali digelar di NTB
akhir Juli ini, harapan publik pun kembali membuncah. Ketika dulu, di tengah
keterbatasan saja, NTB mampu menjadi tuan rumah yang sukses, maka ketika kini
segalanya serba ada, kesuksesan sebagai tuan rumah itu adalah keharusan.
Apa yang kurang? Teknologi tarnsportasi begitu maju.
Sehingga TGH Syafwan Hakim mengingatkan, harusnya kemeriahan MTQ tahun 216 ini
tak hanya pada acara pembukaan saja. Melainkan bagaimana gaung dan
kemeriahannya berlangsung selama proses berlangsung hingga usai.
Apalagi sekarang kan lokasinya berbeda-beda di 13 titik.
Jangan sampai di salah satu lokasi, ada yang sepi penontonnya.
“Kan kurang pas rasanya kalau saat lomba berlangsung yang
nonton hanya peserta itu sendiri,” kata Syafwan mengingatkan. (arl/ili/ton/cr-zad/r10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar